بِسْمِ اﷲِالرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم

Manajemen Prioritas

Assalaamu'alaikum wr wb.

Seringkali kita dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit dalam hidup kita. Manakah yang harus kita prioritaskan?
Contoh sederhananya, dalam membuat cake, apa yang dimasukkan lebih dulu? biasanya mentega, gula, dikocok dulu..lalu masukkan telur.. kocok lagi..lalu terigu..lalu masukkan oven dan jadilah cake-nya .
Namun bagaimana bila urutannya terigu dulu, lalu mentega, kemudian gula, telur, bayangkan sulitnya mencampur dan mengocok semua bahan tersebut hingga rata. Dan bisakah jadi cake-nya? Kemungkinan akan bantat…
Demikianlah manajemen prioritas berlaku dalam hidup kita. Bila prioritas tidak tepat, bikin kue saja gagal.. begitu pula hidup kita.
Saat ini kita juga sama-sama menyaksikan, bahkan mengalami bagaimana skala prioritas yang dibuat dan dilakukan pemerintah Jepang dalam menghadapi masa-masa sulit pasca musibah 11 Maret kemarin. Begitu reaktor nuklir mengalami kerusakan, evakuasi warga diprioritaskan. Safety first. Sehingga kita sama-sama berharap, dengan manajemen prioritas yang tepat, kemaslahatan manusialah yang akan tercapai.


Kasus 1:
Nita, seorang ibu rumah tangga dengan dua anak balita sering bingung menghadapi hari-harinya. Ingin hatinya mencurahkan seluruh waktunya untuk mengurusi keperluan kedua buah hatinya, belajar, bermain, jalan-jalan. Namun, Nita juga ingin dirinya bisa tetap beribadah dengan khusyu`, menjalankan ibadah-ibadah sunah seperti yang rutin dilakukannya sejak masih gadis. Ia juga berusaha membereskan pekerjaan rumah tangga yang bertumpuk sebelum atau sesudah anak-anaknya tidur. Bagaimana ia harus memprioritaskan hal-hal penting tersebut dalam hidupnya?

Kasus 2:
Akhir-akhir ini Lili sibuk sekali, ia terlibat berbagai aksi sosial pengentasan kemiskinan dan kampanye hidup sehat di masyarakat sekitar. Bakti sosial, mendistribusikan sembako, memberikan penyuluhan ke puskesmas, semua kegiatan itu benar-benar menguras energinya. Sering kali ia tidak menghadiri kuliah di kampus juga pengajian rutinnya. Lili merasa lelah sekali.

Kedua kasus di atas adalah contoh kecil masalah manajemen prioritas dari cuplikan kehidupan keseharian. Sebetulnya masalah manajemen prioritas tidak hanya kasus pribadi, melainkan juga kasus bermasyarakat dan bernegara.

Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat pada umumnya seringkali mengalami penyimpangan menentukan skala prioritas. Misalnya saja seni dan hiburan diberi perhatian lebih daripada ilmu pengetahuan. Media massa memberitakan bidang seni dan hiburan, atau entertainment secara besar-besaran. Kajian terhadap dunia seni dan entertainment ini juga tak kalah heboh. Opini massa digiring untuk lebih tertarik pada bidang ini daripada membuat masyarakat tertarik pada buku dan ilmu pengetahuan.
Begitupula dengan masalah jasmani yang lebih diutamakan daripada masalah akal dan jiwa. Misalnya saja kuliner dan olahraga menyedot perhatian yang luar biasa daripada kajian tentang eksplorasi alam, sosial, bahkan agama.
Contoh lainnya lagi adalah banyak orang yang lebih peduli pada hal yang sunah daripada yang wajib. Sebagian besar waktunya habis untuk wirid, bertasbih, namun melupakan berbuat baik pada orang tua, menolong fakir miskin, menyayangi anak yatim, menjadi tetangga yang baik, dan memerangi kezaliman sosial maupun politik. Ada lagi orang-orang yang habis berdebat tentang hal-hal khilafiyah (terdapat perbedaan pendapat antar ulama dan ahli fiqh) dibandingkan mengurusi hal-hal yang pokok, yang sudah disepakati oleh para ulama.

Beberapa Ahli manajemen memberikan solusi untuk manajemen prioritas sebagai berikut,
1. Membuat peta masalah. Dengan bantuan perangkat yang disebut Jouhari Windows mungkin masalah bisa dipetakan dengan jelas.

I. Penting dan mendesak
II. Penting namun tidak mendesak
III. Tidak penting namun mendesak
IV. Tidak penting dan tidak mendesak

Kuadran I. Penting dan Mendesak
Misalnya menghadiri rapat tepat waktu, berbelanja saat kehabisan barang, menyelamatkan barang berbahaya dari tangan bayi. Sholat ketika waktunya sudah akan berakhir. Semuanya penting dan mendesak, maksudnya harus segera dilakukan.

Kuadran II. Penting namun Tidak Mendesak
Misalnya menimba ilmu (baik ilmu agama, ilmu umum, ilmu yang sesuai spesialisasi, profesi, dan ilmu lainnya), berbelanja untuk persediaan barang di rumah, membimbing anak belajar.

Kuadran III. Tidak Penting namun Mendesak
Misalnya mengangkat telpon

Kuadran IV. Tidak Penting dan Tidak Mendesak
Misalnya nonton Film hingga larut malam, sering `window shopping', sering melamun.

2. Memaksimalkan kuadran II
Bisa saja kita me-list mana yang masuk kuadran I,II,III,dan IV. Idealnya, yang paling banyak adalah list di kuadran II, disusul kuadran I, kuadran III, lalu kuadran IV. Seringkali kita terjebak membuat kesalahan sehingga yang seharusnya masuk ke kuadran II menjadi masuk ke kuadran I. misalnya menunda waktu sholat. Sholat yang dikerjakan tepat waktu bisa menjadi optimal dan berkualitas (masuk kuadran II, Penting tapi tidak mendesak), namun karena ditunda jadi dikerjakan terburu-buru (masuk kuadran I, Penting dan mendesak). Begitupula kuadran III dan IV yang membengkak, padahal kedua kuadran tersebut perlu diminimalisir.
Kesalahan menempatkan prioritas inilah yang membuat hidup kita dan juga hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menjadi kurang berkualitas.

Bagaimana Menetukan yang Penting dalam Skala Prioritas

Seperti apakah ukuran yang benar untuk menentukan tingkat ke`penting`an suatu hal? Mana hal-hal yang seharusnya ditempatkan pada urutan utama Skala Prioritas?
Islam memberikan tuntunan sebagai berikut,

1. Prioritas dalam kehidupan tercantum dalam Al Quran
Ukuran penting atau tidaknya suatu hal dalam kehidupan kita telah ada sumbernya, yaitu Al Qur-an. Kita bisa mengetahuinya dari banyaknya ayat-ayat yang menyinggung hal tersebut. Misalnya saja tentang ilmu pengetahuan. Ada banyak ayat dalam Al Quran yang menyerukan untuk mengkaji. Baik mengkaji ayat-ayat yang tertulis maupun yang tidak tertulis (alam). Juga banyak ayat yang diakhiri dengan `apakah kamu tidak memikirkan?` , `apakah kamu tidak mengetahui?`
Contoh lain lagi adalah ayat-ayat yang berhubungan dengan aqidah, tauhid yang merupaka pokok ajaran agama. Juga ayat-ayat yang berkaitan dengan ibadah, baik individu maupun sosial. Hal lain yang diberi perhatian adalah yang terkait dengan akhlak, sifat-sifat yang baik, kejujuran, kebenaran, kesederhanaan, rasa malu, rendah hati, harga diri, berbuat baik pada orang tua, memelihara silaturrahim, menyantuni fakir miskin, menyayangi anak yatim. Kita juga perlu menyadari adanya hal-hal yang diberi perhatian sedikit dalam Al Quran, seperti tentang `Isra-Miraj` yang hanya disinggung dalam satu ayat. Berbeda dengan peperangan yang dibahas sampai satu surah lebih. Ada juga yang sama sekali tidak disinggung dalam Al Quran seperti Maulid Nabi Muhammad SAW. Ini menunjukkan hal ini kurang penting, bahkan tidak terkait dengan ibadah sama sekali. Berbeda dengan kelahiran Nabi Isa AS yang disinggung Al Quran karena merupakan salah satu mu`jizat beliau.

2. Antara prioritas dan kondisional
Penentuan Skala Prioritas sangat berhubungan dengan kondisi, waktu, juga tempat. Misalnya Prioritas bagi ibu rumah tangga berbeda dengan prioritas bagi pemuda. Prioritas dalam kondisi darurat tentu berbeda dengan prioritas dalam kondisi normal. Al Quran mencontohkan hal-hal ini tidak bisa disamakan. Prioritas tiap zaman juga berbeda. Kita bisa menemukan dalam siroh, bahwa titik tekan kebijakan yang dilakukan pada masa khulafaurrasyidin berbeda-beda. Misalnya saja pada zaman Umar bin Khatab r.a terjadi ekspansi besar-besaran yang belum dilakukan di masa Abu Bakar r.a. Demikian pula dengan faktor tempat. Ibadah yang dilakukan di medan perang berbeda dengan yang dilakukan di rumah.

3. Memprioritaskan ilmu di atas amal
Ilmu adalah petunjuk amal. Dengan ilmu maka amal yang dilakukan menjadi benar. Orang yang berilmu lebih utama daripada ahli ibadah sekalipun bila itu dilakukan tanpa ilmu. Ilmu juga menjadi syarat terhadap profesi seseorang. Baik dibidang kedokteran, militer, kehakiman, pemerintahan, sehingga dengan profesi ini suatu kaum menjadi berjaya. Begitupula seorang pemberi fatwa tidaklah diperbolehkan bagi sembarang orang. Harus seorang yang benar-benar menguasai di bidang tersebut.

4. Memprioritaskan kualitas di atas kuantitas
Perbuatan yang sedikit namun benar dan bermanfaat lebih utama daripada perbuatan yang banyak namun tidak benar dan tidak bermanfaat. Al Quran dan Sirah memberi gambaran bagaimana mementingkan kualitas dalam setiap amalan, juga dalam pembentukan pribadi. Mungkin kita masih ingat pada kisah perang Badar dan juga kisah Thalut-Jalut, bagaimana kelompok minoritas yang berkualitas mengalahkan kelompok mayoritas yang tidak berkualitas. Juga sejarah yang mencatat orang-orang luar biasa yang sedikit jumlahnya namun orang-orang tersebut begitu besar manfaatnya bahkan manfaatnya masih terasa walaupun mereka sudah tiada. Misalnya para imam mahzab, tokoh-tokoh seperti ibnu Khaldun, Ibnu Sina, Ibnu, Rush, dll. Mungkin kita pernah mendengar kata-kata:
"Ada orang yang meninggal sebelum ajalnya, karena tidak bermanfaat usianya, namun ada orang yang masih hidup setelah ajalnya, karena manfaat ilmu dan amal sholehnya, dan keturunannya."

5. Memprioritaskan yang ringan dan mudah daripada yang berat dan sulit
Bila kita dihadapkan pada dua pilihan amal, maka pilihlah yang ringan dan mudah dikerjakan daripada yang berat dan sulit dikerjakan. Demikianlah Islam mempermudah kehidupan kita, dan tidak mempersulitnya. Bisa kita lihat begitu banyak hal-hal yang diberikan keringanan (rukhsah) oleh Allah, dan lebih diutamakan kita mengambil rukhsah itu. Misalnya sholat jama` dan qashar ketika bepergian, boleh berbuka puasa di bulan ramadhan untuk yang sakit, tua, ibu hamil dan menyusui, dll.
Tuntunan Prioritas Dalam Hal Ibadah

1. Prioritas dalam hal ibadah. Seperti juga prioritas dalam bidang keduniawian, dalam hal ibadah yang paling prioritas adalah ibadah yang sesuai dengan masa dan situasinya. Ibadah yang diprioritaskan ketika azan telah berkumandang adalah sholat. Ibadah yang diprioritaskan ketika sepertiga malam adalah sholat malam, tadabbur quran, bermunajat dan mohon ampun pada Allah. Ibadah yang diprioritaskan saat kedatangan tamu adalah menyambut tamu itu dan mengurusi keperluannya meski harus meninggalkan tilawah Al Quran dan wirid. Ibadah yang prioritas bagi anak adalah berbakti pada orang tua, bagi seorang istri adalah melayani suaminya, meski harus meninggalkan puasa sunahnya. Bagi seorang ibu adalah mengurusi anak-anaknya, meski harus meninggalkan puasa wajibnya di bulan Ramadhan (bila ia hamil atau menyusui). Prioritas ibadah dimasa kekurangan adalah bersedekah. Di masa peperangan adalah berperang, meski ia harus meninggalkan sholat dan puasa sunahnya, bahkan boleh menunda sholat wajibnya bila sedang tidak aman. Dengan begitu Islam menuntun kita dalam manajemen prioritas setiap waktu, setiap kondisi, setiap tempat sehingga apapun situasinya kita tetap bisa meraih ridho Allah.

2. Prioritas dalam ibadah harus sesuai tingkatan hukum. Fardhu `ain diprioritaskan atas yang fardhu kifayah, yang wajib diprioritaskan atas yang sunah, yang sunah diprioritas di atas yang makruh

3. Prioritaskan hak hamba diatas hak Allah. Bila sebuah hal yang hukumnya fardhu ain namun ada hak Allah dan hak hamba didalamnya, maka yang diprioritaskan adalah hak hamba. Misalnya dalam hal harta. Bila harta yang dimiliki seseorang telah cukup untuk naik haji, namun masih ada utang kepada orang lain, maka yang diprioritaskan adalah membayar utangnya lebih dulu. Bahkan dalam sebuah hadits shahih dikatakan, "semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni, kecuali utangnya." (HR Muslim dari Abdullah bin Umar). Ini juga sebabnya kita boleh memprioritaskan makan daripada sholat fardhu, bila makanan itu telah terhidang.

Tuntunan Prioritas Dalam Hal Amal
1. Memprioritaskan amal yang kontinyu diatas amal yang terputus putus
" Amalan yang paling dicintai Allah adalah amalan yang kontinyu meskipun sedikit" (Muttafaq `Alaih, dari Aisyah ra—Shahih Al Jami` As-shaghir 163)

2. Memprioritaskan amal yang lebih banyak dan lebih lama manfaatnya diatas amal yang sedikit dan sebentar menfaatnya. Misalnya saja dalam bersedekah, lebih diprioriaskan memberikan sedekah berupa barang yang lebih lama manfaatnya. Misal, memberikan sapi yang hamil atau membuat sarana air bersih untuk warga. Dengan umur kita yang pendek maka amalan yang kita lakukan tentu terbatas, disinilah peran amal jariyah yang manfaatnya terus mengalir bagi penerima amal maupun bagi si pemberi amal.

3. Memprioritaskan beramal pada zaman fitnah. Zaman fitnah yang dimaksud adalah masa ketika terjadi fitnah, ujian, cobaan, sehingga kondisi dan situasi saat itu menjadi begitu berat dan menyulitkan. Keteguhan, kesabaran, dan kekuatan untuk terus beramal sholeh dalam situasi ini lebih prioritas daripada di masa mudah. Misalnya menentang pemerintah yang zalim. Atau kondisi musibah seperti sekarang. Dapat kita rasakan pada situasi yang tengah dihadapi saat ini di Jepang, ditengah bencana yang melanda dan ketakutan akan radiasi nuklir yang mengancam, maka beramal sholeh menolong sesama manusia menjadi amalan yang utama. Dibandingkan beramal sholeh pada mereka ketika kondisinya normal-normal saja.

4. Memprioritaskan amalan hati di atas amalan badan. Amalan badan yang dilakukan tidak akan berguna tanpa disertai amalan hati. Karena syarat diterimanya sebuah amalan adalah dari niat dan hati kita. Ketakwaan ada di dalam hati, keimanan ada di dalam hati, keikhlasan, kejujuran, cinta, inilah yang akan melahirkan amalan badan yang diterima oleh Allah.

5. Prioritaskan sesuai keadaaan, waktu, dan tempat. Disinilah perlunya kita melihat dan mempertimbangkan kondisi yang sedang berlangsung. Misalnya di sebuah negara bila ada pertanyaan, manakah bidang yang lebih diprioritaskan; pertanian, perindustrian, atau perdagangan? Para ulama yang mengkaji hadits-hadits terkait berpendapat, bila masanya negara tersebut kekurangan bahan makanan sehingga harus mengimpor dari negara lain, maka pertanian menjadi prioritas. Tentu saja disesuaikan juga dengan ketersediaan lahan, kesuburan tanah, dan kondisi terkait lainnya. Bila yang terjadi adalah makanan cukup, pertanian berjalan baik, namun bidang industri tidak bergerak sehingga negara harus mengimpor barang-barang dan angka pengangguran tinggi , maka yang diprioritaskan adalah negara membuka lahan industri dari yang kecil sampai yang besar sehingga bisa memproduksi barang-barang secara mandiri dan membuka lapangan pekerjaan bagi bangsanya. Namun bila yang terjadi adalah makanan dan barang telah melimpah, maka diprioritaskan membuka bidang perdagangan sehingga barang-barang bisa diekspor. Demikianlah Islam menuntun umatnya dengan fleksibel dan kondisional. Bila yang terjadi saat ini adalah umat Islam yang membutuhkan kemandirian dalam memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, teknologi canggih, persenjataan modern, maka tanggungjawab pemerintah untuk membuka setiap jalan yang menuju kesana. Membangun universitas, mengembangkan riset, dan lain-lain. Inilah yang akan mengembalikan harga diri dan kekuatan kaum muslimin.

6. Prioritaskan memperbaiki diri sebelum memperbaiki sistem. Perbaikan diri adalah modal untuk memperbaiki sistem. Sistem yang baik dibuat dan dijalankan oleh individu yang baik. Karena itulah pembinaan diri diprioritaskan sebelum pembinaan masyarakat dan pembangunan sistem. Semuanya berawal dari pembinaan diri. Perbaikan diri. Ini pula alasan mengapa pembinaan diri lebih diprioritaskan daripada berjihad. Membina diri dengan mempelajari isi Al Quran, menjalankan ibadah wajib dan sunah, mengamalkan ilmu yang didapat, berakhlak dan berpikiran sesuai Al Quran, akan menjadi modal utama lahirnya orang-orang yang dapat membawa dunia kearah kebaikan.

Dengan demikian berdasarkan tuntunan prioritas diatas kita bisa memecahkan kasus Nita:
1. amalan yang prioritas untuk Nita sebagai ibu adalah mengurus anak-anaknya tentu saja.
2. Dalam beribadah, Nita bisa menjadikan ibadahnya masuk ke kuadran II dengan mengatur waktunya. Amalan sunah pun tetap bisa dikerjakan namun disesuaikan dengan aktivitasnya sebagai ibu rumah tangga. Misalkan melakukan sholat malam sedikit jumlah rakaatnya, tapi kontinyu ketika anak-anak sudah tidur. Nita juga perlu memprioritaskan mengambil rukhsah yang diberikan Allah bila hamil dan menyusui. Justru hal ini yang lebih disukai Allah.
3. Mengerjakan tugas rumah tangga pun bisa diatur waktunya sehingga masuk ke kuadran II. Tentu sahabat Fahima sudah membaca artikel Manajemen Waktu dan Peran Muslimah bukan? Nah, Kasus Nita ini terjawab juga di sana. Namun dalam kacamata prioritas, pekerjaan rumah tangga bisa ditunda setelah mengurus anak dan beribadah.
Catatan kecil : dengan memahami point `Hak hamba di atas Hak Allah, maka bila terjadi anak yang menangis padahal sudah masuk waktu sholat, maka diprioritaskan untuk menenangkan anak terlebih dahulu, atau bahkan menyusuinya bila ia lapar, baru kemudian menunaikan sholat. Tentu saja bila sholatnya bukan diakhir waktu. Dengan begini justru sholat dapat dilakukan dengan lebih konsentrasi dan khusyu`.

Untuk Kasus Lili:
1. Amalan yang perlu diprioritaskan oleh Lili adalah pembinaan dirinya, yaitu menuntut ilmu dan menghadiri pengajian rutin. Ini penting sekali untuk modal beramal. Sebisa mungkin Lili mengatur jadualnya yang padat agar tidak terjadi bentrokan.
2. Bila tetap terjadi bentrokan waktu antara pembinaan diri dan aktivitas sosialnya, sebisa mungkin Lili mendelegasikan tugas aktivitas sosialnya kepada rekannya karena berkaitan dengan kemaslahatan umat. Diharapkan tetap mendapatkan pembinaan diri karena pembinaan diri ini sangat penting dan tidak bisa didelegasikan pada orang lain.
3. Menyempatkan diri untuk istirahat dan refreshing secukupnya

Untuk kasus yang lebih luas lagi menyangkut masyarakat, bangsa, dan negara tentu saja tidak mudah memecahkannya. Namun, diawali dari pemahaman terhadap prioritas ini semoga kita bisa mencapai tujuan yang diinginkan, baik dunia maupun akhirat.
Wallahu a`lam bishowab

Sumber :
1. Yusuf Qardhawi, `Fiqh Prioritas', e-book
2. http://karisma.de : Kajian tentang Waktu dan Prioritas , dengan penyesuaian.

diunduh dari : http://rumahfahima.org/en/artikel/manajemen/442-manajemen-prioritas


0 comments:

Posting Komentar